Otonomi Daerah, Berkah atau Bencana
[Image]Jika Indonesia terlalu luas dan beragam untuk bisa dikelola secara tersentral dari Jakarta seperti pada zaman Orde Baru, benarkah otonomi daerah, yang mengemuka sejak Reformasi,merupakan solusi bagi negeri ini?
Itulah salah satu pertanyaan yang ingin saya cari jawabannya dari perjalanan setahun saya keliling Indonesia (Juni 2009-Juni 2010), Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, mengunjungi sekitar 80 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Dari pulau ke pulau, kabupaten ke kabupaten, saya menyaksikan antusiasme besar kampanye pemilihan langsung gubernur, bupati, dan wali kota. Itu sesungguhnya merupakan penanda paling menonjol gairah akan otonomi daerah, bahwa kini warga di tingkat kabupaten pun tak perlu hanya mengandalkan Jakarta untuk berbuat dan memikirkan sesuatu.
Poster kampanye kandidat dan partai, lengkap dengan janji-janji,mewarnai jalanan, bahkan laut. Di Selayar, Sulawesi Selatan,misalnya, saya melihat poster besar di sebuah pulau kecil tanpa penghuni menawarkan wajah kandidat bupati. Namun, di tengah “pesta-pora politik lokal”itu, saya juga masih banyak mendengar ketidakpuasan. Di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah,misalnya,masyarakat daerah selatan masih merasa tidak diperhatikan sehingga ada pemikiran untuk memecah kabupaten baru itu menjadi dua,Kepulauan Banggai Utara dan Selatan. Padahal Kabupaten Banggai kepulauan baru beberapa tahun terakhir memisahkan diri dari Kabupaten Banggai daratan.
Di Maluku Selatan terjadi pemecahan kabupaten beruntun dalam beberapa tahun terakhir.Tak hanya terpecah dengan munculnya Kabupaten Maluku Tenggara, tapi kini muncul Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten Maluku Barat Daya.
Di samping motif ekonomi, geografis, dan aspirasi politik, pemecahan wilayah diilhami oleh perbedaan budaya dan bahasa. Ini mengingatkan saya pada kecenderungan sama di pulau-pulau besar, termasuk Jawa. Provinsi Jawa Barat kini telah terpecah dengan munculnya Banten, namun ternyata tidak cukup. Belakangan, muncul aspirasi baru untuk pembentukan Provinsi Cirebon, yang berisikan Kabupaten Indramayu,Kuningan, Cirebon, dan Majalengka.
Fakta bahwa pemecahan daerah tidak efektif sehingga diperlukan pemecahan lebih jauh lagi hingga ke wilayah lebih kecil menunjukkan bukti bahwa argumen “otonomi daerah”selama ini sering kali hanya menyembunyikan motif tersembunyi: egoisme politikus elite lokal. Kabupaten baru hanya berarti pembangunan kompleks kantor baru, fasilitas baru bagi elite politik lokal, dan infrastruktur baru lain yang fisik sifatnya dan mudah dikorup, ketimbang menegakkan manajemen substansial dalam “mengelola wilayah sendiri”—alasan awal otonomi daerah. Motif egosentris itu diperburuk oleh dua hal.
Pertama, tradisi politik rusak di tingkat nasional yang makin menonjol mengedepankan politik uang, perburuan pada fasilitas pribadi, serta popularitas semu, sehingga otonomi daerah yang semestinya merupakan wahana untuk partisipasi lebih baik bagi masyarakat hanya cenderung menyebarluaskan praktek despotik nasional ke tingkat terendah dengan munculnya raja-raja kecil di daerah.
Kedua, platform ekonomi neoliberal di tingkat nasional, yang mengandalkan privatisasi dan investasi swasta, kini juga dipraktekkan hingga ke tingkat kabupaten dengan antusiasme besar, sedemikian sehingga gubernur dan bupati kehilangan pengertian tentang apa perbedaan “membela publik/rakyatnya”dengan membela investor swasta.
Dikutip dari Tempo Interaktif.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar