Dua remaja terlihat sedang memilah t-shirt yang tertata di lemari kaca. Mereka mencari baju kaos bernuansa laut yang pas. Keduanya adalah alumni Perikanan Unhas, pemerhati konservasi terumbu karang yang sedang bertamu ke rumah, tempat praktek sekaligus toko souvenir mini di Jalan Siswomiharjo Benteng.
Melihat saya datang, tuan rumah segera berdiri danmenyalami “Eh, akhirnya ketemu juga” Sapanya. Dia, dr.Benedicta Wayan Suryani Wulandari, Sp.M, satu-satunya dokter spesialis mata yang mendarmabaktikan keahliannya di kabupaten paling selatan di Sulawesi Selatan ini. Ben, begitulah sapaannya telah tiga tahun mengabdi di RSUD Selayar.
“Beginilah adanya” Sambungnya. “Toko kecil ini salah satu inisiatif bersama kawan-kawan yang peduli konservasi kelautan dan demi menjawab pertanyaan, para wisatawan saat ke Selayar, “Apa ya, ole ole khas Selayar, utamanya Taka Bonerate?”. “T-shirt!, yang bercorak alam atau penyelaman” Tandasnya.
“Ternyata banyak juga kawan-kawan di Benteng yang mempunyai minat dan ketertarikan pada konservasi alam laut Selayar”. Katanya. “Dari merekalah kami bahu membahu terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan Taka Bonerate Expedition bulan Oktober lalu yang diluncurkan Gubernur SYL.
“Kami hendak menunjukkan bahwa banyak pilihan yang dapat ditempuh dalam geliat pariwisata di Selayar ini. Kami juga sisihkan laba dari jual baju ini untuk kepentingan konservasi dan pengembangan kegiatan sejenisnya” paparnya.
Bagaimanapun upaya yang ditunjukkan oleh sang dokter mata ini layak dipuji. Saya yang sejak tahun 1995 telah mengunjungi Taka Bonerate belum melihat perkembangan sebagus dan sekreatif ini jika membandingkan inisiatif dan daya tarik kegiatan wisata seperti yang telah ditunjukkannya setelah Ahmad Yani, staf Balai TN Taka Bonerate hengkang ke Kalimantan.
Selain itu, bagi yang pernah atau sering ke Selayar, tentu mafhum bahwa betapapun perkembangan daerah di Indonesia telah demikian pesatnya pasca bergulirnya otonomi daerah, kesan minimnya kapasitas dan akses yang terbatas menuju dan dari Selayar menjadi cerita tersendiri. Disebut tersendiri karena Selayar menjadi pengecualian.
Untuk ke sana, kita harus menyeberangi lautan dengan naik fery atau kapal laut. Ataupun jika berani, bisa menguji nyali dengan naik pesawat kecil berpenumpang 25 orang (sebelumnya hanya 10 orang). Faktor cuaca dan ganasnya gelombang sering menjadi kendala jika hendak mengunjungi Selayar. Terkait keterbatasan sumberdaya, satu hal yang kerap disebutkan orang pada sektor kesehatan adalah tidak adanya dokter spesialis.
Tahun 2003, saat saya terakhir ke sana, belum ada dokter spesialis (dokter gigi adalah pengecualian) yang mau menetap dan berpraktek di sana. Beberapa pasien harus dirujuk ke Makassar jika mengalami derita terkait penyakit dalam, kandungan, THT atau mata.
Dalam bulan Desember 2009, saya berkenalan dengan dua dokter spesialis, yang satunya dokter THT dan satunya lagi dokter mata. Yang dokter THT adalah kakak dari dosen saya di Ilmu Kelautan Unhas yang asli Selayar sedangkan dokter kedua adalah Dokter Ben.
Dokter Ben, spesialis mata kelahiran Gianyar,Bali yang mulai menyatu dan benam di kehidupan Pulau Sileya, (kini Selayar) yang menyelesaikan gelar dokternya di Universitas Airlangga, Surabaya bersuamikan dokter yang juga spesialis penyakit dalam bernama dr.Mario, dokter tetap pada Rumah Sakit Stella Maris di Makassar.
Kesan pertama saat bertamu ke rumahnya adalah kesan persahabatan dan keluasan wawasan dari dokter yang multi talenta dan luar biasa ini. Ini pula yang membuat saya tertarik untuk menulis sesuatu tentangnya. Saya menumpang mobil dinasnya pada tanggal 22 Desember. Tentu ini kesempatan bagus untuk mendengar kisahnya.
Saat saya berkunjung ke rumahnya, di ruang tamu, puluhan buku-buku kelautan, peta, biologi laut, ekologi terumbu karang dan informasi pariwisata teronggok di atas meja. Dua meja dengan desain indah karena diisi oleh pasir dan cangkang biota laut yang diperolehnya dari menyelam, mengisi bagian dalam meja yang ditutupi oleh kaca. Meja di ruang tamunya terlihat seperti akuarium laut kering.
Bukan hanya itu, di toko souvenir yang diberi nama “Lantigiang” salah satu nama taka (gosong pasir) dalam taman nasional Taka Bonerate ini juga tempat bertemunya para sahabat dan pemerhati konservasi kelautan.
“Keluarga kami tinggal di Kompleks IDI Antang, Makassar”. “Pak Komar seusia dengan suami saya. Angkatan 89 kan?” Katanya suatu ketika. Ben sendiri jika di Selayar tinggal di Jalan Siswomiharjo, di bagian timur pusat kota Benteng.
Keesokan harinya, pada hari Selasa tanggal 22 Desember, saya, dokter Ben, dan dua sahabatnya, Monica (staf pada Taman Nasional Taka Bonerate) dan ibu dari Yanti, seorang polisi taman nasional menuju Makassar. Mereka bertiga rupanya hendak pulang memperingati natal dan tahun baru 2010.
Cinta Laut
“Saya belajar menyelam dari Mr. Bernhard di resort Baloiyya” Katanya saat kami di atas fery KMP Bontoharu dalam perjalanan dari Pamatata ke Bira.“Dari Bernhardlah, saya merasakan betapa mengasikkannya menikmati keindahan bawah laut”. Perairan dalam Taman Nasional Taka Bonerate itu sangat indah, potensinya yang dapat dikembangkan. Demikian pula pada beberapa titik di barat dan timur pulau utama Selayar juga merupakan lokasi selam yang menarik, seperti Appatanah, Jammeng dan Barugaiya.
Bernhard seorang Jerman, manajer pada satu resort di Baloiyya, selatan Benteng. Untuk dapat lisensi menyelam darinya kita mesti menyiapkan anggaran maksimum 3 Juta. Dengan itu, sertifikat selam PADI dapat diperoleh, tentu saja jika berhasil menerapkan teknik-teknik menyelam standar dan sesuai dengan kaidah internasional.
“Bernhard, memanggil saya dengan sebutan Bennie” Ucapnya. Dia sangat berjasa mengajari saya menyelam. Di tempat Bernhard, saya belajar dan berkenalan banyak turis. Saya belajar banyak hal tentang kepariwisataan bawah laut darinya. “Dengan menyelam,keberadaan saya di Selayar menjadi semakin bernilai.
Selam, seperti kunci membuka tabir keindahan bawah laut. Daya tarik utama yang telah memberi nuansa baru kebahagian tak terkira. “Selayar ini indah loh” Katanya. Ben telah menjajal beberapa titik penyelaman favorit (dive spot) utama di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate. Tak terhitung titik-titik penyelaman yang telah dikunjungi seperti di tubir Pulau Tinabo, Pulau Latondu, Tinanja dan beberapa titik penyelaman di laut utama Selayar.
“Kami tidak ragu untuk memanfaatkan wiken dengan berkunjung ke Taman Nasional Taka Bonerate” Katanya. Tentu saja jika kami ingin menikmati keindahan menyelam, mesti merogoh kocek namun dengan bersama kawan-kawan semua menjadi ringan” Katanya lagi.
“Kami pernah ke Tinabo, base jagawana Taman Nasional dengan hanya menempuh sekitar dua jam dengan speedboat. Kami berangkat hari Jumat sore dan pada keesokan harinya, menikmati penyelaman dengan sepuas-puasnya” Katanya. Pulau yang indah, seperti di Tinabo itu merupakan surga rekreasi. Snorkling dan diving dapat dilakukan dengan sepuasnya. Di sana tersedia tabung scuba dan kompressor.
Dokter Ben, rupanya sadar bahwa selain keberanian merencanakan ekspediri penyelaman, pengorbanan untuk mengeluarkan uang demi kepuasan menikmati alam laut itu adalah keniscayaan. Inisiatif seperti ini sangat menarik apalagi jika dilakukan secara berombongan, anggaran bisa diminimalkan dengan sistem sharing biaya.
“Di Selayar, suasana akrab antara kami berjalan dengan sukarela. Beberapa kawan dari Kantor Taman Nasional Taka Bonerate dan rekan seprofesi adalah mitra dan merupakan teman diskusi yang baik” Kami belajar satu sama lain.
“Dengan kemampuan menyelam, saya juga ikut kegiatan Sail Bunaken di Manado bulan Agustus 2009 lalu, menyelam di Bunaken dan sekitar Pulau Lembeh di Bitung. “Saya ke sana bersama dr.Ibel, seorang wanita tangguh yang kini kembali Jawa. Dengan alat penyelaman yang disewa, kami berdua yang memanggul tabung dan peralatan selam lainnya. Kami berpetualang dengan gaya tak terkira saat mengunjungi Pulau Lembeh di Sulawesi Utara” Ungkapnya.
Saat di atas fery, saya memerhatikan logbook penyelamannya yang sedang dibukanya. Data-data berikut tertulis dari log book menyelam yang ada di tangannya, “jumlah penyelaman sebanyak 152, menyelam pada 14 Oktober 2009, dan kedalaman maksimum 21,9 meter”.
Dalam waktu dua tahun, wanita ini telah menyelam sebanyak 152 kali. Fantastik! Pada kedalaman yang tidak semua dokter spesialis mampu melakukannya. Wanita ini kemudian mengeluarkan jam bertuliskan SUUNTO, Mosquito, inilah alat bantu yang mencatat, mengingatkan dan memberinya peringatan saat sedang melakukan penyelaman. Bahkan, jika dia terlalu cepat naik ke permukaan.
Siapa sangka atlet olahraga bela diri kempo saat masih tinggal di Bali ini masih tergolong baru di olahraga selam. Tapi jika membaca catatan di atas tentu bukanlah hal biasa. Luar biasa.
“Saya datang ke Selayar dalam bulan Pebruari tahun 2006. Walau musim barat, saat itu saya menggunakan pesawat udara berbadan kecil” Katanya. Padahal, banyak kawan-kawannya yang tidak menyangka bahwa ia rela berpraktek di pulau jauh ini. Banyak cerita kawan-kawan yang cenderung terkesan negatif tentang Selayar, namun ini saya tepis, sepanjang kita punya niat baik tentu yang datang adalah yang baik pula” Katanya.
Bukan Hanya Selam
Profesinya sebagai dokter spesialis mata adalah derajat tersendiri namun di balik profesi itu siapa sangka bahwa dia adalah aktivis yang peduli warga dan organisasi sosial.
Dia sosok penting pada terbentuknya perkumpulan pesepeda (biker) “Gele bike club” di kota Benteng, dia juga yang menginisiasi lahirnya klub selam bernama Sileya Diving Club – Sileya Scuba Divers, SDC yang mengambil nama lawas pulau Selayar, “Silea”. Konon, menurut sejarah, dahulu kala, Pulau Selayar dikenal dengan nama Sileya. Itulah mengapa para diver sebanyak 15 orang yang bernaung di organisasi ini memilih nama Silea Diving Club.
“Saya belajar banyak hal dari kunjungan saya ke pulau-pulau dalam Taman Nasional Taka Bonerate. Bahkan hingga Pulau Jampea” Katanya.
Selama kurun waktu tahun 2006 hingga akhir tahun ini berbagai kisah dan pencapaiannya bersama kawan-kawan yang peduli dengan pengembangan Kabupaten Kepulauan Selayar mengalir darinya. Dari urusan profesi, bakti sosial hingga cerita suka duka pasien mata.
Kunjungannya ke pulau Jampea dengan menumpang kapal laut berjam-jam merupakan tantangan tersendiri. “Saya mencatat cerita-cerita yang menggugah dan sekaligus memiriskan saat melihat fakta kehidupan masyarakat pula, utamanya kaum wanita” Imbuhnya.
Tentu ini hal yang sangat istimewa dan langka. Ben, dokter mata yang menggeluti dunia bawah air sebagai diver atau penyelam dan juga peka sekitar. Bukan hanya itu, kecintaannya pada laut dan segala asosiasinya telah memberikan perspektif baru bahwa dokter spesialis yang konon masih dianggap pekerjaan paling ekslusif dan mewahan, ternyata tidak terbukti padanya.
Di Pasitallu, dia terkaget kaget saat mendapati seorang wanita belia, bahkan layak disebut anak gadis berumur 13 tahun mengalami pendarahan. “Saya diberitahu oleh Ibu anak perempuan yang berdarah ini. Dia bilang, kenapa ini anakku berdarah-darah dokter” Ceritanya dalam logat Selayar yang terkesan lucu.
“Saya bilang, biasaji itu kalau anak gadis, biasa memang kalau haid pertama banyak pendarahan” Katanya kepada ibu si anak perempuan itu.
Dokter Ben menjadi kaget saat si ibu berujar, “O Tidak, ini pendarahan kedua. Anak ini sudah pernah pendarahan lagi. Ini kehamilan kedua yang berdarah-darah” Mata Ben terbelalak (dia menunjukkan mimik terheran-heran) saat mendapat penjelasan dari orang tua si gadis bahwa ini adalah pendarahan kedua bukan karena haid pertama tapi karena sedang hamil dan keguguran.
“Bagaimana tidak keguguran kalau rahim si anak belum kuat menampung si calon jabang bayi” Bisiknya. Kejadian ini bukan hanya sekali. Pada pulau jauh seperti Pulau Pasitallu Timur, Kecamatan Taka Bonerate, peristiwa kawin muda menjadi hal biasa. Mereka melahirkan anak namun yang menjaga dan merawat di bayi adalah neneknya. Ibunya malah pergi main dengan anak-anak sebayanya” Cerita Dokter Ben.
Banyak kejadian yang mencengangkan dan menjadi catatan tersendiri bagi dirinya bahwa nun jauh di sana, di pulau-pulau terpencil kehidupan wanita begitu menjadi beresiko. Seorang anak remaja dalam usia yang layaknya bermain riang dengan temannya, ternyata sudah harus mengasuh anak dan bahkan menanggung beban berat karena kawin muda.
“Pernah pula” Katanya. Seorang ibu datang berobat karena matanya rabun alias kabur. Yang mengherankan karena dia mengaku hanya mata kirinya. Ya, hanya mata kirinya. Setelah diperiksa dan konsultasi gejalanya akhirnya, direkomendasikan untuk membuat kacamata khusus rabun kiri”. Tapi, dua minggu kemudian, sang istri datang lagi. “Dokter, bagusmi mataku” Kata wanita itu.
Dokter Ben kemudian dibisiki oleh si ibu, “sebenarnya, mata saya rabun karena dipukul suami” katanya sambil tersipu. “Ah kenapa pula ada suami yang tega memukul istrinya? Wanita yang mestinya disayangi” Kata Ben.
“Dibutuhkan kepekaan pada lingkungan dan sosial”. Saya menggarisbawahi kalimat ini bahwa apa yang ditunjukkan oleh Dokter Ben, adalah sesuatu yang mestinya niscaya dilakukan oleh semua kita. Dalam profesi apapun, kita harus melakukan hanyak hal, kecil atau besar untuk mempertahankan keutuhan lingkungan dan sekitar dengan saling meyayangi.
“Itu yang dapat dilakukan di Selayar, menjaga potensi sumberdaya laut dan mengajak semua pihak untuk bahu membahu mengelolanya dengan bijaksana dan menguntungkan bagi sesama.
“Sebagai dokter, kitapun harus selalu mengasah kepekaan pada sekitar, alam dan manusianya” Katanya.“Suami saya bilang, alangkah menyenangkannya bagi seorang dokter jika pasien datang berkeluh kesah dan setelah konsultasi dan mengobatinya lalu dia datang dalam beberapa hari kemudian dengan senyum dan ucapan terima kasih” tutupnya.
Kita beruntung bisa menyelami kisah Dokter Ben, hal yang tak lazim bagi seorang dokter spesialis di negeri selatan bernama Sileya atau Selayar. Negeri indah sarat sejarah dan potensi sumberdaya alam laut yang spektakuler.
Daeng Nuntung